Langsung ke konten utama

Sejarah Perjuangan Perempuan Indonesia

 



Oleh Sinta Riska Fahreni (Kader Komisariat Muhammad Darwis HMI Cabang Mataram) 

Sejarah perjuangan perempuan Indonesia berangkat dari kepedulian mereka terhadap mutu keluarga. Pemikiran bahwa para ibu yang harus menyiapkan anak-anaknya menyongsong masa depan, mengilhami para pemikir perempuan untuk membekali diri dengan pendidikan. Alangkah anehnya jika para ibu diberi tugas mendidik anak-anaknya, sementara mereka sendiri tidak terdidik. Kesadaran akan perannya sebagai ibulah yang mendorong para perempuan Indonesia untuk mengejar pendidikan. Dari isu peran dalam keluarga ini perjuangan emansipasi perempuan Indonesia berkembang ke relasi dalam pernikahan dan kemudian hak-hal politik.

pergerakan perempuan Indonesia. Cora mengaitkan politik etis Belanda di awal abad 20 dengan bangkitnya kesadaran emansipasi perempuan Indonesia. Politik etis membawa serta gagasan-gagasan emansipasi perempuan yang saat itu berkembang pesat di Eropa. Cora menunjukkan bahwa para pelopor pergerakan emansipasi perempuan Indonesia setidaknya terpengaruh dengan gagasan-gagasan feminisme di Eropa. Cora juga menunjukkan bahwa upaya peningkatan pendidikan di Hindia Belanda sebagai implikasi dari politik etis telah merambah kepada penyediaan pendidikan bagi kaum perempuan.

kita bisa melihatnya dari Masa Colonial (sebelum 1945). Pada masa itu, muncul tokoh-tokoh perempuan di daerah-daerah yang aktif melawan penjajah untuk meraih kemerdekaan. Misalnya, seperti halnya di aceh ada Cut Nya Dien (komandan perang aceh) dilanjutkan perjuangan Cut Mutia. Ratu Sima (618) menjadi pemimpin perempuan yang jujur di Jateng, selain itu ada juga RA Kartini yang kita kenal sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia.

Kebangkitan gerakan perempuan pada masa kolonial semakin terasa di tahun 1928 dengan diselenggarakannya kongres Perempuan 1 (22-25 Desember) di Yogyakarta dengan tujuan memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan. Menurut catatan Susan Blackburn beberapa tokoh feminis Eropa merasa tersinggung karena kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi “kaum pribumi”, suatu identitas yang membedakan mereka dari perempuan-perempuan lain. 

Sudah kita lihat secara bersama secara garis besar perempuan miliki moto penggerak dalam situasi apapun, dalam hal ini kita sebagai perempuan harus kuat dalam segala hal.


 Dalam cita-cita Pancasila, manusia, perempuan, dan laki-laki, diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa, dan bangsa Indonesia mengarahkaan diri pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, musyawarah dan mufakat, serta keberadaban. Oleh karena itu, sebagai negara hukum, Indonesia telah menjamin hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, perempuan dan laki-laki, sebagai makhluk bermartabat, yang telah dimiliki sejak lahir hingga akhir hayat. Karenanya HAM wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan setiap orang.


Pembukaan UUD 1945 mengakui bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia merdeka dan tidak boleh mendapatkan diskriminasi berdasarkan apapun termasuk berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Dengan disahkannya perubahan kedua pada tahun 2000, UUD 1945 memuat ketentuan dasar mengenai HAM dalam Bab XA, Pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J ayat (2). Selain rumusan tersebut, UUD 1945 kententuan HAM termuat pula dalam Pasal 29 ayat (2) dan pasal 28 I (2). Perempuan dan laki-laki berhak atas kehidupan dan kemeerdekaan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.


Konsepsi HAM ini sejalan dengan hukum HAM Internasional, yang secara khusus mengadopsi instrument hak asasi perempuan yang komprehensif, yaitu Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women, selanjutnya disebut Konvensi CEDAW, yang diratifikasi oleh Negara Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi ini mendasarkan pada tiga prinsip atau asas yaitu: (a) Persamaan substantive; (b) Non Diskriminasi; dan (c) Kewajiban Negara. Prinsip persamaan substantive mengakui adanya perbedaan situasi hidup perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dapat atau lebih rentan mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi melalui perbedaan ketubuhannya dibanding laki-laki, dengan menggunakan tolak ukur kepentingan laki-laki. Diskriminasi dapat dialami langsung atau merupakan kelanjutan dari berbagai tindakan diskriminatif di waktu lalu. Untuk menanggulanginya, persamaan substantive menggunakan pendekatan korektif melalui tindakan khusus sementara (temporary special measures) dan perlindungan maternitas.


Fase ke perempuan harus miliki wawasan ke ilmuan yang tinggi supaya bisa mendongkrak kembali paham paham baru yang mampu mengangkat kembali nama dan martabat seorang perempuan. Sedangkan kemajuan jaman yang sudah moderen dengan peradaban baru dan dunia sudah canggih dengan teknologi yang di miliki. Sekali lagi perempuan hari ini masih gagal dalam pengembangan diri secara tingkat keilmuan, ekonomi, dll. 

Lanjut sedangkan di era Society 5.0 dengan kemudahan jaman. Dunia dalam Genggaman akses informasi secara public dengan pusarnya pendidikan dalam kanca perguruan tinggi ini di manfaat dengan baik oleh pemerintah dengan bantuan distribusi teknologi di semua linik. 

Sebenarnya ini harus di manfaatkan dengan baik oleh kaum hawa peran perempuan untuk menyambut bonus demografi di 2024 harus lebih gesit harus menerobos di setiap linik agar kesemarataab atau kesetaraan gender di isi oleh kaum kaum perempuan yg terdidik. Secara historis kemajuan suatu negara itu tidak lepas dari perjuangan kaum hawa yg memiliki cita-cita besar untuk kemajuan suatu negara.

Hari ini bukan kemerdekaan perpuan di rapat bukan juga tidak di hargai dan tidak juga di diskriminasi, perempuan sendiri menindas dirinya sendiri perlu ada kesadaran dan kedewasaan dalam mengembalikan hal hal yang produktif untuk mengembalikan moral dan martabat perempuan. 

Meri bersama sama mengembalikan martabat yang sudah lama menghilang. Negara butuh kita kemajuan negara tergantung kita yang menjadi pertanyaan besar Kita Mau Melebur Atau Tidak. ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemuda Desa Woro Kab. Bima angkat bicara, Ada Apa Dengan Pemerintah Desa?

  Ditulis oleh: Muksin (Pemuda Desa Woro) Pemerintah merupakan konseptor sekaligus eksekutor yang harus merencanakan dan melaksanakan tugas dlm bentuk program kerja yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya agar mampu mewujudkan tatanan kehidupan bermasyarakat yang tertib, aman dan damai. Secara khusus pemerintah desa memiliki tugas dan kewajiban untuk Pembinaan ketentraman dan ketertiban, pelaksanaan upaya perlindungan masyarakat, mobilitas kependudukan, dan penataan dan pengelolaan wilayah. Mengawasi pelaksanaan pembangunan di wilayahnya, melaksanakan pembinaan kemasyarakatan dalam meningkatkan kemampuan dan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungannya. Ada beberapa tujuan yang minim di terapkan oleh pemerintah desa, mulai dari aspek pembinaan ketentraman dan upaya perlindungan terhadap masyarakat, objektif bahwasanya tidak ada upaya yang di lakukan oleh pihak desa untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan yang akan menimpah masyarakat pengendara sepeda, motor, mobil dan lai...