Di tulis oleh: Fahmin Setiawan
(Kader Komisariat Muhammad Darwis)
Sejarah mencatat, bersinergi dengan kearifan lokal yang ada di Kotagede yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Mataram.
Muhammadiyah boleh jadi tampak anti-orang Jawa, tapi sebenarnya ia menjelmakan nilai-nilai Jawa dalam banyak cara,” tulis Matsuo Nakamura dalam buku Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin (2017). Buku ini mengupas tentang sejarah Kotagede, khususnya di dinamika dan pergerakan Muhammadiyah sekurun 1970 hingga 2010. Akademisi asli Jepang yang sudah melebihi dari 40 tahun meneliti Islam di Indonesia dan Muhammadiyah melanjutkan, “Mungkin kita bisa katakan bahwa inilah contoh sebuah agama universal, seperti Islam, yang dimana telah menjadi tradisi agama yang hidup di lingkungan masyarakat Jawa.” Tentunya bukan tanpa alasan seorang Nakamura menyematkan tajuk Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin dalam bukunya itu. Beringin oleh Nakamura digambarkan sebagai simbol masyarakat Jawa beserta berbagai tradisi dan budayanya yang kompleks. Sedangkan bulan sabit ialah perlambangan Islam.
Muhammadiyah, yang merupakan bagian dari representasi umat Islam di Indonesia, terbukti sanggup bersinergi dengan tradisi-tradisi dan budaya Jawa. Muhammadiyah bahkan mampu melakukannya di jantung per adaban Jawa, yakni Kotagede yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam, termasuk pada era Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Sinergi kearifan lokal dan Islam di Kotagede pernah diterapkan Sultan Agung. Joko Darmawan dalam Mengenal Sejarah Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa (2017) menuliskan, Sultan Agung menyadari arti pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Maka dia amat menghargai tradisi dan budaya lama yang masih dijalankan oleh sebagian warga Kotagede.
Komentar
Posting Komentar